Postcards of 20th-century Women in the Malay Archipelago

In conjunction with the month of International Women’s Day, this is the first in a series of articles exploring womanhood through the archives. 

Image by Nicole Ong

How does one make sense of photographs whose backstories are lost? It is often hard to imagine if Malay women in mid-century Malaya gushed to welcome the novelty of having their pictures taken, or perhaps they guarded jealously their private lives from the photographers’ intrusions.

Did their pictures remind them of a profound alienation from their own bodies, rights they have relinquished to the photographer, or did having one’s picture taken reinforce their sense of ownership and control?

And what about the audience for these photographs? Did viewers use the postcards to satiate their curiosity of other races, a curiosity that overpowers the mute protests of these women? Or were these photographs circulated exclusively amongst women, each act of passing on governed by the unspoken trust of female friendship?

In the former, they must have been subject to the logic of the booming exchange economy, forming a commodity that enjoined the rigid rules of capitalism, with the slipperiness of sex appeal and unquantifiable desires; if the latter is true, these photos illuminate circuits of exchange that are unmediated by the suffocating
reality of phallogocentricity in their times. 

Either way, this tranche of 20th-century photographs—generously permitted by Professor Farish Noor for their digitisation on the MDA database—are important artefacts of history deserving of our careful consideration.


Bagaimana seseorang itu mengkaji gambar-gambar apabila cerita latar belakangnya telah hilang? Sukar untuk dibayangkan jikalau wanita Melayu di pertengahan abad Malaya meraikan kejanggalan apabila gambar mereka diambil, atau adakah mungkin mereka menyelimuti kehidupan peribadi daripada diceroboh oleh si penangkap gambar.

Adakah gambar-gambar ini mengingatkan si empunya akan tubuh mereka yang terasing, sebuah hak yang telah mereka serahkan kepada si penangkap gambar, atau adakah dengan mengambil gambar, ia memperkasa anggapan bahawa pemilikan dan kuasa kepunyaan mereka?

Dan apa pula ceritanya dengan si penonton gambar? Adakah penonton menggunakan poskad-poskad ini untuk memuaskan rasa ingin tahu tentang kaum berlainan, suatu rasa ingin tahu yang menundukkan protes bisu oleh para wanita ini? Atau adakah gambar-gambar ini hanya berkitar antara kaum wanita sahaja, setiap perkongsian yang dikawal selia atas nama sepakat orang perempuan yang tak diungkap?

Bagi situasi pertama, mereka pastinya menjadi suatu subjek kepada kemunasabahan kepesatan ekonomi beri-dan-terima-ganti, mewujudkan suatu dagangan yang menggabungkan peraturan kapitalisme yang keras kaku, bersama-sama kegelinciran keinginan seksual dan kemahuan yang tak terkirakan. Bagi situasi kedua, gambar-gambar ini mempamerkan litar pertukaran tanpa perantara oleh realiti menyesakkan ke-phallogocentrisme pada ketika itu.

Walau bagaimanapun, bingkisan gambar-gambar abad ke-20 ini – yang diberi izin oleh Professor Farish Noor bagi proses digitalisasi untuk pangkalan data MDA – adalah artefak sejarah yang penting – wajar untuk diteliti dan dinilai oleh semua.